Masa Pra sejarah
Diperkirakan ± 3.500 tahun sebelum masehi sudah terdapat kehidupan manusia di daerah Kuningan, hal ini berdasarkan pada beberapa peninggalan kehidupan di zaman pra sejarah yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neoliticum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum. Bukti peninggalan tersebut dapat dijumpai di Kampung
Cipari Kelurahan
Cigugur yaitu dengan ditemukannya peninggalan pra-sejarah pada tahun 1972, berupa alat dari batu obsidian (batu kendan), pecahan-pecahan tembikar, kuburan batu, pekakas dari batu dan keramik. Sehingga diperkirakan pada masa itu terdapat pemukiman manusia yang telah memiliki kebudayaan tinggi. Hasil penelitian menunjukan bahwa
Situs Cipari mengalami dua kali masa pemukiman, yaitu masa akhir Neoleticum dan awal pengenalan bahan perunggu berkisar pada tahun 1000 SM sampai dengan 500 M. Pada waktu itu masyarakat telah mengenal organisasi yang baik serta kepercayaan berupa pemujaan terhadap nenek moyang (
animisme dan dinamisme). Selain itu diketemukannya pula peninggalan adat dari batu-batu besar dari zaman megaliticum.
Masa Hindu
Dalam carita
Parahyangan disebutkan bahwa ada suatu pemukiman yang mempunyai kekuatan politik penuh seperti halnya sebuah negara, bernama Kuningan. Kerajaan Kuningan tersebut berdiri setelah
Seuweukarma dinobatkan sebagai Raja yang kemudian bergelar
Rahiyang Tangkuku atau
Sang Kuku yang bersemayam di
Arile atau
Saunggalah.
Seuweukarma menganut ajaran
Dangiang Kuning dan berpegang kepada
Sanghiyang Dharma (Ajaran Kitab Suci) serta
Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup). Ekspansi kekuasaan
Kuningan pada zaman kekuasaan
Seuweukarmamenyeberang sampai ke negeri
Melayu. Pada saat itu masyarakat
Kuningan merasa hidup aman dan tentram di bawah pimpinan
Seuweukarma yang bertahta sampai berusia lama. Berdasarkan sumber carita
Parahyangan juga, bahwa sebelum Sanjaya menguasai Kerajaan Galuh, dia harus mengalahkan dulu
Sang Wulan -
Sang Tumanggal - dan
Sang Pandawa tiga tokoh penguasa di
Kuningan (=
Triumvirat), yaitu tiga tokoh pemegang kendali pemerintahan di
Kuningan sebagaimana konsep
Tritangtu dalam konsep pemerintahan tradisional suku
Sunda Buhun.
Sang Wulan, Tumanggal, dan Pandawa ini menjalankan pemerintahan menurut adat tradisi waktu itu, yang bertindak sebagai
Sang Rama,
Sang Resi, dan
Sang Ratu.
Sang Rama bertindak selaku pemegang kepala adat,
Sang Resi selaku pemegang kepala agama, dan
Sang Ratu kepala pemerintahan. Makanya Kerajaan
Kuningan waktu dikendalikan tokoh ‘Triumvirat’ ini berada dalam suasana yang gemah ripah lohjinawi, tata tentrem kerta raharja, karena masing-masing dijalankan oleh orang yang ahli di bidangnya. Tata aturan hukum/masalah adat selalu dijalankan adan ditaati, masalah kepercayaan / agama begitu juga pemerintahannya. Semuanya sejalan beriringan selangkah dan seirama.
Ketika Kuningan diperintah Resiguru Demunawan pun (menantu Sang Pandawa), Kerajaan Kuningan memiliki status sebagai Kerajaan Agama (Hindu). Hal ini nampak dari ajaran-ajaran Resiguru Demunawan yang mengajarkan ilmu Dangiang Kuning - keparamartaan, sehingga Kuningan waktu menjadi sangat terkenal. Dalam naskah carita Parahyangan disebutkan kejayaan Kuningan waktu diperintah Resiguru Demunawan atau dikenal dengan nama lain Sang Seuweukarma (penguasa/pemegang Hukum) atau Sang Ranghyangtang Kuku/Sang Kuku, kebesaran Kuningan melebihi atau sebanding dengan Kebesaran Galuh dan Sunda (Pakuan). Kekuasaannya meliputi Melayu, Tuntang, Balitar, dan sebagainya. Hanya ada 3 nama tokoh raja di Jawa Barat yang berpredikat Rajaresi, arti seorang pemimpin pemerintahan dan sekaligus ahli agama (resi). Mereka itu adalah:
- Resi Manikmaya dari Kerajaan Kendan (sekitar Cicalengka - Bandung)
- Resi Demunawan dari Saunggalah Kuningan
- Resi Niskala Wastu Kencana dari Galuh Kawali
Perkembangan kerajaan Kuningan selanjutnya seakan terputus, dan baru pada 1175 masehi muncul lagi. Kuningan pada waktu itu menganut agama Hindu di bawah pimpinan Rakean Darmariksa dan merupakan daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang terkenal dengan nama Pajajaran. Cirebon juga pada tahun 1389 masehi masuk kekuasaan kerajaan Pajajaran, namun pada abad ke-15 Cirebon sebagai kerajaan Islam menyatakan kemerdekaannya dari Pakuan Pajajaran.
Masa Islam
Sejarah Kuningan pada masa Islam tidak lepas dari pengaruh kesultanan
Cirebon. Pada tahun 1470 masehi datang ke
Cirebon seorang ulama besar agama
Islam yaitu
Syeh Syarif Hidayatullah putra
Syarif Abdullah dan ibunya
Rara Santang atau
Syarifah Modaim putra
Prabu Syarif Hidayatullah adalah murid
Sayid Rahmat yang lebih dikenal dengan nama
Sunan Ampel yang memimpin daerah ampeldenta di
Surabaya. Kemudian
Syeh Syarif Hidayatullah ditugaskan oleh
Sunan Ampel untuk menyebarkan agama
Islam di daerah
Jawa Barat, dan mula-mula tiba di
Cirebon yang pada waktu Kepala Pemerintahan
Cirebon dipegang oleh
Haji Doel Iman. Pada waktu 1479 masehi
Haji Doel Iman berkenan menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada
Syeh Syarif Hidayatullah setelah menikah dengan putrinya. Karena terdorong oleh hasrat ingin menyebarkan agama
Islam, pada tahun 1481 Masehi
Syeh Syarif Hidayatullah berangkat ke daerah
Luragung, Kuningan yang masuk wilayah
Cirebon Selatan yang pada waktu itu dipimpin oleh
Ki Gedeng Luragung yang bersaudara dengan
Ki Gedeng Kasmaya dari
Cirebon, selanjutnya
Ki Gedeng Luragung memeluk agama
Islam.
Pada waktu Syeh Syarif Hidayatullah di Luragung, Kuningan, datanglah Ratu Ontin Nio istrinya dalam keadaan hamil dari negeri Cina (bergelar: Ratu Rara Sumanding) ke Luragung, Kuningan, dari Ratu Ontin Nio alias Ratu Lara Sumanding lahir seorang putra yang tampan dan gagah yang diberi nama Pangeran Kuningan. setelah dari Luragung, Kuningan, Syeh Syarif Hidayatullah dengan rombongan menuju tempat tinggal Ki Gendeng Kuningan di Winduherang, dan menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil kepada Ki Gendeng Kuningan agar disusui oleh istri Ki Gendeng Kuningan, karena waktu itu Ki Gendeng Kuningan mempunyai putera yang sebaya dengan Pangeran Kuningan namanya Amung Gegetuning Ati yang oleh Syeh Syarif Hidayatullah diganti namanya menjadi Pangeran Arya Kamuning serta beliau memberikan amanat bahwa kelak dimana Pangeran Kuningan sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.
Setelah Pangeran Kuningandan Pangeran Arya Kamuning tumbuh dewasa, diperkirakan tepatnya pada bulan Muharam tanggal 1 September 1498 Masehi, Pangeran Kuningan dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan (Adipati Kuningan) dan dibantu oleh Arya Kamuning. Maka sejak itulah dinyatakan sebagai titik tolak terbentuknya pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari jadi Kuningan
Masuknya Agama
Islam ke
Kuningan nampak dari munculnya tokoh-tokoh pemimpin
Kuningan yang berasal atau mempunyai latar belakang agama. Sebut saja Syekh Maulana Akbar, yang akhirnya menikahkan putranya, bernama
Syekh Maulana Arifin, dengan
Nyai Ratu Selawati penguasa
Kuningan waktu itu (putra Prabu Langlangbuana). Hal ini menandai peralihan kekuasaan dari
Hindu ke
Islamyang memang berjalan dengan damai melalui ikatan perkawinan. Waktu itu di
Kuningan muncul pedukuhan-pedukuhan yang bermula dari pembukaan-pembukaan pondok pesantren, seperti Pesantren Sidapurna (menuju kesempurnaan), Syekh Rama Ireng (Balong Darma). Termasuk juga diantaranya pesantren
Lengkong oleh
Haji Hasan Maulani.
Pasca Kemerdekaan
Kuningan menjadi tempat dilaksanakannya Perundingan Linggarjati pada bulan November 1946. Karena tidak memungkinkan perundingan dilakukan di Jakarta maupun di Yogyakarta (ibukota sementara RI), maka diambil jalan tengah jika perjanjian diadakan di Linggarjati, Kuningan. Hari Minggu pada tanggal 10 November 1946 Lord Killearn tiba di Cirebon. Ia berangkat dari Jakarta menumpang kapal fregat Inggris H.M.S. Veryan Bay. Ia tidak berkeberatan menginap di Hotel Linggarjati yang sekaligus menjadi tempat perundingan.
Delegasi Belanda berangkat dari Jakarta dengan menumpang kapal terbang “Catalina” yang mendarat dan berlabuh di luar Cirebon. Dari “Catalina” mereka pindah ke kapal perang “Banckert” yang kemudian menjadi hotel terapung selama perjanjian berlangsung. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir menginap di desa Linggasama, sebuah desa dekat Linggarjati. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta sendiri menginap di kediaman Bupati Kuningan. Kedua delegasi mengadakan perundingan pada tanggal 11-12 November 1946 yang ditengahi oleh Lord Kilearn, penengah berkebangsaan Inggris.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kuningan
Drossophyla
Published:
2012-04-24T10:57:00+07:00
Title:Sejarah Kota Kuningan JABAR
Rating:
5 On
22 reviews